Tampil menarik dan prima adalah dambaan setiap insan. Untuk itu banyak yang mengguna-kan berbagai cara guna mengubah dan memperbaiki penampilan. Salah satu yang menjadi pilihan adalah kosmetika.

Sejarah kosmetika hampir seiring dengan sejarah peradaban manusia. Orang-orang Mesir Kuno telah mengenal berbagai ramuan untuk membuat kulit halus dan awet muda. Demikian juga dengan budaya Cina yang mengenal berbagai bahan alam yang dapat mempercantik dan memperindah wajah. Di Indonesia sendiri masing-masing suku juga memiliki cara dan ramuan khas untuk memperbaiki wajah, kulit dan tubuh manusia. Kita mengenal lulur, ramuan tradisional dan kosmetika alami di berbagai daerah.

Menggunakan kosmetika untuk memperbaiki diri dan fisik seseorang adalah sah-sah saja. Itu adalah suatu kewajaran, asal dilakukan secara wajar dan menggunakan bahan-bahan yang halal. Dalam Islampun kita disunnahkan menggunakan wewangian ketika hendak pergi ke masjid. Ada pula sunnah untuk menggunakan celak pada kelopak mata. Tetapi penggunaan kosmetika untuk tujuan-tujuan di luar kewajaran dapat dikategorikan tabarruj yang dilarang agama. Misalnya dengan mengubah bentuk dasar wajah untuk tujuan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara medis. Mencukur alis dan menggantinya dengan pensil adalah salah satu bentuk pengubahan wujud asli wajah manusia yang sebaiknya tidak dilakukan.

Selain itu penggunaan kosmetika yang berlebihan juga dapat mengundang efek-efek kurang baik. Secara sosial kemanusiaan, penggunaan kosmetika yang terlalu tebal justru dapat mengubah makna kosmetika itu sendiri. Bahkan tidak jarang hal itu menjadi bahan tertawaan dan cibiran bibir rang jika tidak pantas lagi buat seseorang. Oleh karena itu dalam menggunakan kosmetika andapun harus berkaca pada batas-batas kewajaran dan norma yang berlaku, jangan hanya berlandaskan tujuan yang tidak jelas.

Di luar fungsi dan tujuan penggunaan kosmetika, hal yang tidak kalah penting adalah bahan baku kosmetika itu sendiri. Benarkah bahan-bahan tersebut berasal dari sesuatu yang halal? Jangan-jangan apa yang dipakai untuk wajah atau kulit itu berasal dari unsur haram atau najis. Kalau sampai terjadi maka bahan haram itu akan menodai diri kita, sehingga tidak dapat bersuci secara sempurna ketika hendak beribadah.

Kemungkinan masuknya bahan haram ini cukup terbuka. Lemak adalah salah satu komponen yang digunakan dalam banyak produk kosmetik. Jika anda menggunakan lipstik untuk memerahkan bibir, maka di dalamnya pasti mengandung unsur lemak sebagai bahan baku. Nah, apakah lemak itu berasal dari yang halal, ataukah berasal dari lemak babi? Itulah yang perlu dikaji lebih lanjut.

Akhir-akhir ini penggunaan bahan-bahan yang diduga haram semakin meningkat. Misalnya kolagen dan plasenta. Kolagen banyak dipakai di berbagai produk kosmetik karena konon dapat mengencangkan kulit dan memperbaiki penampilan wajah. Tahukah anda dari mana kolagen berasal? Bahan ini diekstrak dari protein hewani, yang mungkin dari sapi, ikan, atau mungkin juga dari babi.

Sedangkan plasenta merupakan bahan yang diambil dari plasenta (cadangan makanan bagi bayi), baik dari plasenta hewan maupun plasenta manusia! Sebagai bahan yang kaya nutrisi plasenta memang terbukti mampu memberikan gizi bagi kulit, sehingga memiliki efek encegah penuaan dan menjaga kesegaran kulit. Akan tetapi kalau berasal dari manusia, maka hal itu jelas dilarang oleh agama. Komisi Fatwa MUI telah melarang penggunaan organ tubuh manusia untuk kebutuhan pangan maupun kosmetika. Oleh karena itu penggunaan plasenta untuk memperbaiki wajah dan kulit juga dapat dihukumi haram.

Kini banyak produk kosmetika yang menggunakan bahan-bahan terlarang itu. Para produsennya menawarkan janji kebugaran, kecantikan dan awet muda, hal-hal yang sangat disukai kaum wanita. Oleh karena itu masyarakat berbondong-bondong membeli, meskipun dengan harga yang cukup mahal. Sudah saatnya konsumen muslim mencermati hal itu, jangan hanya tergiur dengan khasiat dan janji yang muluk-muluk, tetapi perhatikan juga aspek kehalalannya. Kecantikan tubuh dapat pudar setiap saat. Penuaan kulit juga merupakan sebuah keniscayaan yang akan dialami semua orang. Tetapi kecantikan akhlak dan budi pekerti jauh lebih abadi ketimbang sekedar kecantikan semu yang diberikan kosmetika, apalagi jika berasal dari bahan-bahan yang tidak halal.

Sumber: Jurnal Halal Maret 2003