V. Hal-hal yang dijumpai di lapangan

  1. Berdasarkan pengalaman di Bali, ada sementara pihak yang menganggap bahwa sertifikat halal itu bernuansa SARA, hal ini memerlukan penjelasan yang baik.
  2. Dalam agama Islam ada ketentuan yang mengatur dalam hal makanan dan minuman yang harus dipatuhi oleh pemeluknya.
  3. Karena kemajemukan masyarakat, timbullah masalah bahwa makanan olahan yang dipasarkan di tengah masyarakat tidak seluruhnya memenuhi ketentuan halal seperti yang ditentukan olah agama Islam.
  4. Yang sering terjadi dalam masyarakat, dann yang menyebabkan ketersinggungan umat Islam adalah adanya sementara pihak yang menyatakan bahwa produk atau hasil olahannya halal bahkan ada yang menyatakan ”halal 100%”, ”Halal 101%”, menurut pengertiannya sendiri tanpa melalui pertimbangan pihak yang benar-benar mengerti dalam masalah ini.
  5. Dalam agama Islam hanya ada ketentuan:
    1. Halal
    2. Tidak halal
    3. Diragukan kehalalannya
  6. Tidak ada ketentuan halal 100%, 75%, 50%, dst. Kalau ada yang menyatakan demikian karena tidak mengertinya, adalah tidak benar.
  7. Dalam hal makanan yang sudah jelas halal, tidak ada masalah, begitu juga makanan dan minuman yang tidak halal, juga tidak ada masalah. Orang Islam yang taat tidak akan mengkonsumsinya.
  8. Yang menjadi masalah adalah makanan dan minuman yang diragukan kehalalannya. Dalam hal ini perlu ada kerjasama antara pihak pengolah dan pemasar hasil suatu produk makanan dan minuman dengan pihak yang benar-benar mengerti tentang ketentuan halal, dalam hal ini MUI, supaya tidak menimbulkan keraguan bagi konsumen muslim untuk mengkonsumsinya.
  9. Mengkonsumsi makanan dan minuman yang diragukan kehalalannya dapat menimbulkan perasaan tidak tenang bagi seorang muslim yang taat dalam beragama.

IV. Tinjauan dari Sudut Teknologi

  1. Pada jaman Rasulullah, yaitu pada jaman Nabi Muhammad SAW diutus tuhan menyampaikan ajaran agama Islam kepada manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai manusia masih sangat sederhana. Pergaulan dan mobilitas manusia masih terbatas.
  2. Pada jaman sekarang, mobilitas manusia sudah mengglobal. Teknologi berbagai produk, termasuk produk makanan sudah terlalu canggih, baik alat untuk mengolahnya maupun bahan dan cara memprosesnya.
  3. Bahan baku, bumbu dan bahan penolong untuk memproduksi makanan olahan diperoleh dari berbagai sumber asal usulnya. Teknologi pengolahan pun sudha sangat canggih. Bahan baku sudah banyak diperoleh dari impor, termasuk daging atau bahan hewani lainnya yang tidak jelas asal dan cara penyembelihannya. Bumbu dan bahan penolong sudah banyak yang hasil olahan secara kimiawi, berupa instan turunan daru bahan haram atau paling tidak tercemar bahan haram.
  4. Karena bahan yang diolah dan cara pengolahannya ditangani oleh berbagai pihak termasuk pihak yang tidak mengerti ketentuan halal yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan agama Islam, maka diperlukan adanya kerjasama antara pihak produsen dengan pihak yang mengerti ketentuan halal ini, dalam hal ini MUI, agar hasil produknya tidak menimbulkan keraguan konsumen muslim. Dengan tidak diragukan oleh konsumen muslim, diharapkan akan dapat merebut pasar lebih luas, mampu bersaing dipasaran bebas, karena sebagian besar konsumen di Indonesia adalah orang muslim.
  5. Lebih jauh dengan sertifikat halal, produknya akan merebut pasar yang lebih luas di pasar bebas secara global, menembus pasar di negara-negara yang berpenduduk muslim.

VII. Cara memperoleh Sertifikat dan Label Halal

  1. Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang pangan, masalah makanan halal tercantum dalam pasal 30, ayat 2, butir (e).
  2. Cara memperoleh Sertifikat Halal dalam undang-undang tersebut menjadi satu paket dengan cara memperoleh label pangan. Dalam label pangan tersebut sekaligus tercantum:
    1. Nama produk
    2. Daftar bahan yang digunakan
    3. Berat/isi bersih
    4. Nama dan alamat produsen/pengimpor
    5. Keterangan tentang halal
    6. Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa
  3. Urut-urutan prosedurnya:
    1. Perusahaan mengajukan permohonan label pangan kepada Badan POM
    2. Badan POM, Departemen Agama (Kementerian Agama) dan MUI dalam satu tim melakukan audit ke perusahaan pemohon
    3. Bila dalam audit masih ditemukan hal-hal yang belum memenuhi ketentuan, pemohon wajib melengkapi dan memperbaikinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan disepakati.
    4. Bila semua telah memenuhi ketentuan, maka selanjutnya MUI menerbitkan Sertifikat Halalnya dan Badan POM menerbitkan label pangan setelah perusahaan memperoleh Sertifikat Halal
    5. RPH (Rumah Potong Hewan) yang diselenggarakan Pemerintah mengacu pada Keputusan Komisi Fatwa MUI, Nomor: B-776/MUI/X/1990 tanggal: 10 Oktober 1990 dan SK Menteri Pertanian Nomor: 413/Kpts/TN.310/7/1992, tanggal 25 Juli 1992 harus dilaksanakan seusai dengan ketentuan Halal secara Islam.
    6. Khusus RPH Pesanggaran Denpasar telah dalam pantauan MUI Propinsi Bali, dan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan tersebut diatas.

(Disampaikan dalam pembukaan ”Pelatihan Intern Sertifikasi Halal, LPPOM MUI Propinsi Bali Masa Bakti 2005 – 2010 di Denpasar, 29 Januari 2006 di Gedung MUI Propinsi Bali)